Kopi Pemenang dari Puntang
Begitu dicecap, terasa paduan pahit, asam, dan manis yang samar. Rasa itu tak tertinggal lama di mulut, membuat ingin meminumnya lagi dan lagi. ”Ini kopi terbaik di kontes di Amerika,” kata Ayi Sutedja Soemali (51), petani yang menumbuhkan dan mengolah kopi Gunung Puntang, dengan bangga.
Ayi patut berbangga. Pilihannya untuk pulang kampung dan menjadi petani mendapatkan penghargaan di tingkat dunia. Dalam ajang Specialty Coffee Association of America (SCAA) Expo 2016, 14-17 April 2016, kopi yang ditanam Ayi di lembah Gunung Puntang menjadi yang terbaik dalam uji cita rasa dan harga lelang. Beras biji kopi Ayi mendapat nilai 86,25 dengan harga lelang 55 dollar Amerika Serikat per kilogram.
Kopi Gunung Puntang produksi Ayi unggul ketimbang kopi-kopi lain dari berbagai daerah Indonesia yang lebih dulu populer, seperti kopi dari Manggarai, Flores, Gayo, Toraja, dan Temanggung. Padahal, kopi Gunung Puntang adalah pemain baru dalam dunia kopi Nusantara. ”Ini hasil panen pertama kebun kami,” katanya.
Perjalanan Ayi memenangi kompetisi di Atlanta ini dimulai dengan keikutsertaannya di Jakarta International Expo 2015. Dalam ajang ini, kopi Ayi meraih nilai tertinggi (85,3).
Pencapaian ini yang membuat kopi produksi Ayi terpilih sebagai satu dari 20 kopi terbaik Indonesia untuk tampil dalam ajang SCAA. Seleksi dilakukan terhadap 74 sampel kopi dari berbagai daerah oleh Kementerian Perdagangan RI dan Gabungan Eksportir Kopi Indonesia yang didukung Caswell Coffee, lembaga penjamin mutu produk kopi dengan sertifikat internasional.
Memilih bertani
Hingga tahun 2011, Ayi masih bekerja di perusahaan kontraktor listrik di Bekasi. Hidupnya mapan. Namun, dia tidak nyaman dengan rutinitas kerja kantoran. ”Saya selalu ingin pulang ke Bandung agar bisa dekat dengan alam dan jadi petani,” kisah Ayi yang semasa sekolah aktif di kegiatan pencinta alam ini.
Ayi pulang ke Bandung. Keluarga yang semula keberatan, hanya bisa pasrah melihat tekad kuatnya. ”Saya meminta waktu tiga tahun kepada istri dan anak. Saya yakin pasti ada jalan jika kita berusaha,” ujarnya.
Terbukti, ketika satu pintu ditutup, ada jendela terbuka. Gunung Puntang, kawasan yang disambanginya saat aktif sebagai pencinta alam, menjadi titik balik perjalanan hidupnya. Ia bertemu Eko Purnomiwidhi, pengusaha kopi senior dari Jakarta, yang tengah survei untuk menangkarkan pohon kopibuhun (tua) di lereng Gunung Guntur, Garut.
Pada tahun 1699 Belanda membawa bibit kopi arabika dari Malabar ke Jawa Barat, dan menanamnya di perkebunan kopi di Priangan, utamanya di lereng Gunung Papandayan dan Guntur dengan sistem tanam paksa. Kopi ini dikenal sebagai Java Preanger. Dari kawasan Priangan ini, Belanda mengembangkan kebun kopi di Jawa, dan kemudian ke Sumatera, Bali, dan Nusa Tenggara Timur.
Setelah memberi kontribusi besar bagi ekspor kopi bagi Kongsi Dagang Belanda atau VOC, tanaman kopi arabika di Jawa hancur akibat serangan penyakit karat daun tahun 1878. Wabah ini membunuh tanaman arabika di dataran rendah. Hanya tersisa tanaman di lahan setinggi dari 1.000 meter di atas permukaan laut.
Dari tanaman kopi tua yang tersisa di Gunung Guntur ini, Eko mendapatkan bibit kopi arabika. Eko menawarkan beberapa bibit kopinya secara gratis kepada Ayi jika dia bersedia menanamnya. Saat itu juga, Ayi memutuskan menjadi petani kopi. Dia belajar dari nol mengenai penanaman kopi.
Ayi mencari lahan yang cocok untuk bibit kopinya. Saat itu, lembah Gunung Puntang dalam kondisi kritis. Hutan Perhutani ini semula ditanami petani lokal dengan sayur-mayur. Namun, hal itu menyebabkan tanah rentan longsor, apalagi kemudian terjadi kebakaran hutan dan pencurian kayu besar-besaran. Akhirnya, Perhutani menarik kembali lahannya.
Ayi datang ke Perhutani dan menawarkan ide untuk menanam kopi yang bisa memperkuat struktur tanah. Kopi juga bisa didampingkan dengan tanaman keras lain. Proposal Ayi diterima. Lewat program Pengelolaan Hutan bersama Masyarakat Perhutani, dia mendapat lahan sewa 4 hektar.
Keadilan harga
Sebelum kedatangan Ayi, sebagian warga Gunung Puntang sudah menanam kopi dari bibit bantuan pemerintah tahun 1990-an. Namun, tanaman itu ditelantarkan karena harga jual kopi sangat rendah, yaitu Rp 2.500 per kg. ”Harga kopi dipermainkan tengkulak. Petani kembali menanam sayur,” katanya.
Ayi bertekad menghasilkan kopi terbaik, bukan hanya dari teknik menanamnya, melainkan juga pengolahannya. Sambil menunggu kebun kopinya berbuah, dia belajar mengolah kopi sejak dari biji hingga menjadi bubuk. Ayi juga bergabung dengan Sustainable Coffee Platform of Indonesia (Scopi), yang bergerak pada pengelolaan kopi ramah lingkungan.
Dengan bantuan seorang dermawan dari Jakarta, dia membeli kopi petani setempat dengan harga dua kali lipat ketimbang tengkulak. ”Saya pasarkan bubuk kopi itu ke warung- warung sekitar sini dan ternyata laris,” katanya.
Harga kopi di petani merangkak naik. Tengkulak yang biasa beli harga kopi semaunya terpaksa menyesuaikan dengan harga beli Ayi. ”Sekarang harga kopi di petani Rp 8.500 per kg. Itu cukup adil,” katanya.
Sekalipun usaha jual-beli kopi menguntungkan, Ayi lebih fokus mengolah kopi yang ditanam dan dipasarkannya sendiri. ”Niatan saya memang bermain di kopi spesial, bukan kopi pasaran,” katanya.
Ditanam di tanah vulkanik, tidak terlalu sulit menanam kopi buhun di antara pohon advokat dan jambu. Buah keluar dari batang yang renggang dan teratur rapi. ”Kopi ini cocok ditanam di sini. Satu pohon panen 2 kilogram. Namun, perlakuan sesudah panen juga sangat memengaruhi kualitas kopi,” katanya.
Setelah dipanen, Ayi menyortir buah kopi untuk mendapatkan terbaik, yaitu yang berwarna merah. Direndam dalam air, buah yang mengapung dibuang. Buah yang tenggelam lalu digiling untuk memisahkan daging buah dan bijinya.
Biji kopi telanjang dibawa ke rumah kaca untuk menyempurnakan proses fermentasi dibantu sinar matahari selama 10-30 hari. Biji harus rutin dibolak-balik agar panas suhu 30-40 derajat celsius menyerap ke dalam. ”Kopi lalu disimpan dalam suhu ruangan. Istilahnya, mengistirahatkan kopi,” katanya.
Hari semakin sore saat anak kedua Ayi, Muhammad Iqbal Bentang Haekal (18), datang berkunjung ke Gunung Puntang. Keduanya jarang bertemu. Haekal kini duduk di kelas II Mualimim Pesantren Persis Pajagalan, Kota Bandung, sedangkan Ayi menghabiskan lima hari dalam seminggu di kamar kontrakannya di Desa Pasirmulya.
Iqbal bangga atas prestasi ayahnya. Dia mantap ingin mendukung usaha rintisan ayahnya itu. Selepas lulus pesantren, ia ingin mengambil jurusan manajemen untuk belajar cara memasarkan kopi yang lebih baik.
”Dulu saya malu saat Bapak memutuskan pulang kampung dan memilih jadi petani. Tetapi, sekarang, setiap ditanya orang, apa pekerjaan Bapak, saya akan bilang, Bapak saya petani,” katanya.
Sumber: “Kopi Pemenang dari Puntang” ditulis oleh Cornelius Helmy dan Ahmad Arif. Dipublikasikan tanggal 8 Juni 2016 pada http://print.kompas.com/baca/2016/06/08/Kopi-Pemenang-dari-Puntang